Rabu, 01 Juni 2011

Pancasila Merajut Kebhinekaan Bangsa


Ideologi yang Hanya Menempel di Dinding Kelas Indonesia seperti meniti di atas dua kutub yang ekstrim. Bangsa ini berhadapan dengan generasi yang kehilangan karakter sekaligus radikal. Melupakan kesantunan, kerukunan, kejujuran, toleransi atas perbedaan, gotong royong, dan musyawarah mufakat. Pancasila seperti hanya ada dinding tak pernah hinggap di hati bangsa Indonesia.

Siang yang terik di kawasan Kalibata. Drajat, 45 tahun, sedang asik berhadapan dengan motor tuanya di garasi. Dari ruang tamu terdengar suara bising Playstation 3. Suara tembakan ditingkahi suara raungan mesin. Yayan, putra Drajat yang berumur 12 tahun itu, sedang asik memainkan game Sniper, berteman minuman soda dan gorengan hangat.

“Assalamualaikum, ada Pak Drajat,” sapa tamu dari luar. “Drajat lagi nggak ada, keluar!” teriak Yayan tak peduli. Sang tamu hanya geleng kepala, sembari mengumpat, dasar anak abad 21! Sang bapak juga tak kalah kagetnya. Anaknya kian tak sopan. Bukan hanya pada dirinya tapi juga kepada orang lain. Drajat, sang bapak itu, membandingkan bagaimana dia hormat kepada orang yang lebih tua, baik dalam lingkungan keluarga, maupun dengan tetangga, dan siapa saja yang ditemui di luar rumah. Duh, apa yang terjadi dengan generasi muda sekarang? Sopan santun hilang, begitupula sifat-sifat bangsa yang membanggakan, yang berdasar Pancasila.

Ketika reformasi bergulir, berbagai hal yang berbau Orde Baru disetip, termasuk Pancasila. Lalu digantikan dengan berbagai ideologi, mulai dari sosialis, liberal, bahkan Islam redikal. Sejatinya persoalan menyalahgunakan Pancasila sudah terjadi di dua era pemimpin Indonesia sebelumnya. Misalnya, Soekarno menempatkan posisi nasonalis, agamis, dan komunis dalam posisi setara, yang rentan benturan. Agar mudah dikontrol, sesuai kepentingan Bung Karno. Lalu, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat peneguh kekuasaan. Mereka yang berlawanan pendapat kerap dilabeli anti Pancasila dan anti pembangunan.

Lalu di masa Orde Baru, Pancasila berhenti sebatas hafalan dan tak dipraktekkan semua. Lantaran itulah, kalangan mahasiswa dan reformis melihat Pancasila sebagai alat, bukan alat pembentuk karakter bangsa. “Maka, ketika reformasi digulirkan mereka melihat Pancasila hanya dimanfaatkan untuk alat kekuasaan. Ironisnya, mereka yang mengaku dirinya reformis, bahkan tak melirik Pancasila atau melaksanakannya kembali lantaran berbagai kepentingan. Walhasil bangsa ini menjadi tidak berkarakter, tak memiliki martabat, saling jegal untuk kepentingan sendiri,” kata budayawan Taufik Ismail.

Reformasi itu juga berlanjut ke kurikulum. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang aplikatif itu, yang mulai diperkenalkan sejak TK sampai ke SMA, digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan yang cenderung hafalan, teori, dan kurang praktek. Bahkan, di bangku kuliah, beberapa universitas sejak 1999 atau 2000 sudah tak melaksanakan lagi Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Kompas (6/4) menulis dengan bagus keluh kesah para pendidik perihal melunturnya karakter bangsa, lantaran menguapnya PMP dari ruang-ruang kelas. Menghilangnya PMP membawa akibat lenyap pula nilai-nilai Pancasila semisal musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama, “Sesuai kurikulum materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang untuk penanaman nilai dan pembentukan moral anak,” keluh La Ose, Kepala Sekolah SMAN 1, Lura, Muna, Sulawesi Tenggara.

Repotnya, ketika akan menjabarkan berbagai prilaku yang Pancasilais, para guru di negeri ini kesulitan bukan main. Sebab pahlawan lokal tak lagi diekspos oleh media massa, yang ada hanya para pejabat yang korup, artis yang kawin cerai, juga kekerasan antar pemeluk agama. Ini membuat Pancasila hanya ada dalam teori tak membekas dalam kehidupan nyata. Pancasila seperti terbang dan berbicara sendiri, di dunia lain.

Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada, Sindung Tjahyadi mengingatkan negaralah justru yang mengabaikan Pancasila. “Penghapusan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Terkesan disengaja, lantaran dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas, tidak ada lagi kurikulum mengenai Pancasila,” urai Sindung. Akibatnya, para guru tak berani mengajarkan di sekolah-sekolah. Kini, ketika radikalisme bangkit, justru ajaran toleransi yang berasal dari Pancasila, menurut Sindung, menjadi semakin dibutuhkan.

Pancasila dan Pendidikan Karakter Bangsa Bagaimana mengembalikan karakter bangsa? Ini pertanyaan yang menggelisahkan ketika bangsa ini melaju tanpa jati diri. Pancasila yang merupakan elaborasi alias penggarapan secara cermat nilai-nilai kebijakan lokal, etika, dan agama yang berlaku universal dan sangat khas Indonesia, hanya bisa diterapkan mulai pendidikan sejak dini, dalam keluarga sampai ke ruang-ruang kelas.

Persoalannya adalah, media massa – terutama televisi – yang masuk ke rumah-rumah telah menggantikan peran orangtua, para agamawan, dan guru dalam mendidik anak. Ini menjadi tantangan tersendiri. Persoalannya, bagaimana menyaring pengaruh buruk dari televisi ini?

Para ilmuwan di bidang komunikasi massa meyakini, setiap manusia memiliki filter alias saringan untuk menapis informasi. Filter ini bisa berfungsi dengan baik, apabila moralitas seseorang baik pula – yang dibangun oleh keluarga, lingkungan, dan agama atau ideologi.

Moralitas sebagai penentu karakter, selalu menjadi konsentrasi para filsuf untuk membangun masyarakat yang berkarakter alias beradab. Sejak 2.500 tahun yang lalu, Socrates seorang filsuf Yunani, telah mewanti-wanti tujuan paling mendasar dari pendidikan, adalah untuk membuat seseorang menjadi baik and cerdas.

Bahkan Nabi Muhammad SAW, menegaskan misi utamanya dalam mendidik atau berdakwah kepada umat manusia, untuk mengupayakan pembentukan karakter yang mulia. Bahkan, tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali apa yang disuarakan Socrates dan Nabi Muhamad SAW, bahwa moral, akhlak, atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.

Indonesia yang masyarakatnya beragam, amat sulit untuk mengambil salah satu ideologi untuk membentuk karakter bangsa. Ketika Pancasila dirumuskan menjadi falsafah hidup dan dasar negara, Pancasila adalah perpaduan jenius lokal yang sifatnya universal, bahkan terkandung dalam ajaran agama apapun, terutama Islam. Pancasila boleh disebut jalan tengah antara nilai-nilai luhur yang ada dalam sosialisme dan liberalisme.

Persoalannya, bagaimana membawa nilai-nilai luhur Pancasila ke dalam sekolah? Menurut Sindung Tjahyadi, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama dapat dijadikan acuan pembelajaran beberapa nilai. Salah satunya adalah nilai toleransi atau menghormati agama lain. Dahulu, ketika PMP masih diajarkan di sekolah-sekolah dasar, selalu ada contoh bagaimana toleransi dilaksanakan.

Misalnya, bila sekumpulan anak sepakat untuk berlibur di hari Minggu, mereka baru berangkat bila temannya yang beragama Kristiani pulang dari gereja. Sebaliknya begitu, bila mereka mendengar suara adzan, teman yang beragama Kristen mengingatkan yang beragama Islam untuk beribadah. Dan permainan diistirahatkan sejenak.

Begitupula sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang menjadi bagian penting dalam rantai karakter bangsa. Memberadabkan sesama manusia menjadi modal utama dalam hubungan sosial, yakni memberikan apresiasi atau penghormatan kepada orang lain. Para guru di sekolah selalu mengajarkan berdiskusi untuk menyelesaikan sebuah masalah. Perbedaan pendapat memang dapat menghasilkan konflik, namum guru selalu menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang beradab, konflik tidak diselesaikan dengan kekerasan, namun dituntaskan dalam bentuk proses debat dan pemaparan argumen, dan saling menghargai.

Soal keberagaman bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dalam sila Persatuan Indonesia mampu diuraikan dengan mengenalkan budaya Indonesia secara fisik. Para guru disekolah harus mampu menjelaskan kebudayaan Indonesia lahir dari kebudayaan lokal, yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi pemahaman persatuan. Pelajaran mengenai sila ketiga ini, harus membentuk rasa cinta tanah air.

Lalu, mengenai sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, para guru harus menanamkan inilah acuan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Para pendidik harus menanamkan nilai demokrasi yang mendasar adalah taat asas, sesuai prosedur dan menghargai martabat orang lain sesuai hati nurani.

Inilah yang dapat disampaikan dalam pembelajaran pendidikan karakter siswa. Siswa dikenalkan dengan prosedur yang benar dan sesuai aturan/asas yang berlaku. Hal ini bukan untuk mengajak siswa menjadi pribadi yang semata patuh, namun mengajak mereka menjadi pribadi yang taat. Taat adalah bagian dari disiplin maka cara sila keempat ini. Pembelajarannya dapat diawali dengan memberikan latihan disiplin diri untuk menghargai proses yang melibatkan orang lain.

Ketika kepekaan sosial menunjukkan tanda-tanda meluntur, para pendidik harus berperan mengajarkan nilai-nilai luhur sila kelima; Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang merupakan basis kepekaan sosial yang sangat mendasar. Manusia yang berkarakter selalu berjuang untuk sesama, bukan utuk dirinya. Itulah yang dimaksud dengan keadilan sosial, keadilan sosial tidak perlu lagi dibahas dalam cakupan yang luas dan menerawang, namun dalam kegiatan sehari-hari siswa. Apakah siswa telah berbela rasa kepada siswa lain? Hal inilah yang dapat diuraikan dalam pembelajaran sehari-hari.

Sudah saatnya bagi tiap sekolah untuk meletakkan kembali Pancasila sebagai acuan dasar dalam membentuk karakter siswa. Terbukti Pancasila sangat kaya akan nilai-nilai keutamaan hidup yang mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia. Sejahtera berarti bebas dari tindakan anarkis, lepas dari masalah fundamentalitas agama, radikalisme kesukuan, dualisme minoritas-mayoritas, dan perekonomian yang stabil dan merata. Satu-satunya jalan mewujudkan kesejahteraan adalah melalui pendidikan karakter.

Tentu pelajaran Pancasila bukan ditentukan dengan angka-angka di buku rapor, tapi harus dinilai dari prilaku si anak dalam kesehariannya di sekolah, bahkan di rumah. Bila ini dipraktekkan, Pancasila bukan hanya selembar kertas bergambar Garuda Pancasila yang ditempel di dinding kelas. Diapit foto kepala negara dan wakilnya, yang tersenyum gagah. (LC, dari berbagai sumber)

Baca Selengkapnya......

Mengembalikan Pancasila ke Dalam Jiwa Bangsa

Pancasila bukan hanya berfungsi menjadi “kompas” bagaimana warga negara berprilaku. Namun juga bagaimana menyelenggarakan pemerintahan agar segenap rakyat Indonesia sejahtera.


Usai reformasi Pancasila menjadi pembicaraan yang langka. Ia terlupakan. Ketika moralitas bangsa mengalami penurunan, lalu, anak-anak muda kian menjadi “western” dan radikalisme Islam dalam wujud teroris beraksi di Indonesia, barulah semua orang tersadar Indonesia sedang di tubir jurang kehancuran.

Semua sibuk mencari “penyembuh”, Pancasila kembali digali keberadaannya, untuk menumbuhkan keasadaran kolektif bangsa mengenai falsafah dan pedoman hidup bangsa.

“Pancasila merupakan payung yang sengaja diciptakan oleh para pendiri bangsa ini sebagai pelindung pembangunan bangsa. Tidak ada yang salah dengan Pancasila, yang salah adalah penerapannya. Problema bangsa ini hanya akan selesai dengan jalan kultural, pembatinan dengan menghargai sikap-sikap menghargai perbedaan,” ujar Pengajar di Universitas Indonesia Mudji Sutrisno atau Romo Mudji.

Ketika bangsa ini mulai tak tolelir terhadap perbedaan, menurut Romo Mudji, kunci paling penting untuk menanamkan toleransi adalah menghargai orang lain. Konsep ini sudah ada dalam Pancasila yang dibuat oleh para pembangun bangsa. Dalam konsep ini semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara harus dihargai dan dihormati termasuk ketika terdapat perbedaan yang memang sudah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu.

Bagian tersulit dalam pendidikan toleransi menurut Romo Mudji adalah membuat toleransi mendarah daging dan menjadi kesadaran setiap anak. Pendidikan toleransi bukan hanya hapalan di luar kepala. Pendidikan toleransi akan berhasil dengan cara mengajak anak untuk melakukan tolerasni. “Semua itu dimulai dari keluarga, disini kuncinya,” kata Romo Mudji.

Di sekolah dasar hingga atas, generasi muda memperoleh pemahaman mendalam mengenai
latar belakang historis, dan konseptual tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bagi setiap warga negara, merupakan suatu bentuk kewajiban sebelum dapat melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini adalah kesepakatan para pendiri bangsa dan masyarakat Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara (Filsafat Negara), maka setiap warga negara wajib loyal (setia) kepada dasar negaranya.

Dalam perjalanan waktu, ketika terbentuk sebuah negara bernama Indonesia, perjalanan hidup bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh efektivitas penyelenggaraan negara. Untuk itu Pancasila difungsikan sebagai dasar dalam mengatur penyelenggaraan negara, di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Bahkan saat globalisasi masuk ke dalam tiap inchi kehidupan bangsa, Pancasila dijadikan sebagai penyaring dampak negatif yang kemungkinan muncul.

Maka bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, kesetiaan, nasionalisme (cinta tanah air) dan patriotisme (kerelaan berkorban) kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan (loyalitas) mereka terhadap filsafat negara (Pancasila) yang secara formal diwujudkan dalam bentuk Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan Perundangan lainnya). Kesetiaan warga negara tersebut akan nampak dalam sikap dan tindakan, yakni menghayati, mengamalkan dan mangamankan. Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan keunggulan Pancasila sepanjang masa.

Elaborasi Nilai-nilai Lokal
“Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia” sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga negara Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibangun oleh para pendiri negara itu, dengan berupaya terus untuk menggali, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan pada 18 Agustus 1945, dan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.

Seluruh masyarakat tanpa terkecuali terikat dengan Pancasila, sebagai hasil kesepakatan berdasarkan justifikasi yuridik (perundangan), filsafat-teoritik, sosiologik-historik (kemasyarakatan dan kesejarahan).

Dari sisi perundangan rumusan Pancasila terdapat dalam undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR Republik Indonesia. Simak dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

……………. dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan itu terdapat pula dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949) dan Undang-undang Dasar Sementera RI (1950). Juga ada dalam Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Dari sisi filsafat-teoritik, Pancasila mengadopsi nilai-nilai ketuahanan yang diajarkan oleh seluruh agama di muka bumi – bahwa keberadaan Tuhan adalah kebenaran hakiki, maka para pendiri negara memulai rumusan Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29:

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. (Alinea kedua)

…………, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, ……………..(Alinea keempat) dan Pasal 29 ayat 1 UUD 45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari sisi kemasyarakatan dan kesejarahan, menurut Bung Karno, presiden pertama RI dan pendiri bangsa, bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam.

Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia, yang prakteknya disesuaikan dengan budaya masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, gamblang bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia.

Dalam masyarakat Jawa dikenal konsep kemanusiaan dalam bentuk tepo seliro (tenggang rasa), sepi ing pamrih rame ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih), gotong royong (berat ringan ditanggung bersama). Dalam Masyarakat Minangkabau musyawarah dan mufakat berada dalam tataran konsep kemanusiaan dan kekuasaan tertinggi (sovereinitas), yang tercermin dalam peribahasa bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat (sovereinitas) dan penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran (konsep kemanusiaan) dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (konsep religiusitas).

Soal ketuhanan masyarakat Minahasa memiliki petuah pangilikenta waja si Empung si Rumer reindeng rojor (Sekalian kita maklum bahwa yang memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa). Konsep ketuhanan dikenal dalam masyarakat Madura dalam nasehat bijak abantal sadat, sapo’iman, payung Allah (Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa)

Di Lampung, untuk menyelesaikan berbagai persoalan dikenak nasehat bijak tebak cotang di serambi, mupakat dilemsesat (Simpang siur di luar, mufakat di dalam balai). Inilah yang direkam dalam sila keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Sila mengenai Persatuan Indonesia, diambil dari petuah bijak di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara, na’buah pinayung (Tetap bersatu dan rukun). Hal ini juga dikenal di Maluku, dengan slogan kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese upasasi netane kwelenetane ainetane (Mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk menentang kezaliman).

Tak semua praktek-praktek bijak yang menjadi warisan turun-temurun direkam dalam tulisan ini. Namun, berbagai suku bangsa yang ada di 33 provinsi itu memiliki nilai-nilai yang diadopsi ke dalam Pancasila oleh Bung Karno. Rupa-rupanya para pendiri bangsa ini telah memberi bekal, agar bangsa Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Asal tak melupakan Pancasila dan menanamnya dalam lubuk paling dalam kesadaran kolektif bangsa, lalu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. (LC, dari berbagai sumber)

Baca Selengkapnya......

Eco Sport for Earth 2011



Dalam rangka menyambut Hari Bumi se-Dunia Badan pembinaan Olahraga Seni dan Kebudayaan PT. Krakatau Steel (BPOSKS) bekerjasama dengan DPP LDII dan CAI Diving Club menyelenggarakan acara yang bertajuk “Eco Sport for Earth”.

Acara digelar di Tanjung Lesung Beach Club – Banten, pada 30 April 2011 lalu dan diisi dengan kegiatan olahraga seperti : sepeda lintas alam dan quatlon (renang,kayak,lari,sepada). Sementara kelompok pecinta alam menelusuri sambil mempelajari hutan mangrove yang dilestarikan. Tidak lupa pula kegiatan membersihkan sampah organik sepanjang pesisir pantai Tanjung Lesung.

undefined
Ketua BPOSKS Djoko Mulyono, mengungkapkan kekagumannya dan berterima kasih atas antusiasme peserta yang mengikuti acara tersebut. Ia sangat berharap bahwa dengan kegiatan ini, dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada seluruh masyarakat dengan cara melestarikan ekosistem guna anak cucu kita yang akan datang. Hal ini diamini oleh Ketua DPP LDII Edwin Sumiroza, yang juga karyawan PT. Krakatau Steel, dan tokoh Lingkungan Hidup H. Budi Rama (Ketua DPP LDII).

Ketua Departemen Pemuda Olahraga Seni & Budaya Ir.Adityo Handoko dan H. Budi Rama menyerahkan cinderamata kepada Ketua BPOSKS dalam acara tersebut. Acara ditutup dengan snorkling, melihat keindahan ekosistem bawah laut oleh semua peserta. Berita selengkapnay bisa dibaca di blog LDII Go Green.


Baca Selengkapnya......